Rumah
"Kau rumah"
Bisik itu seketika terus menggema,
memenuhi ruang antara otak dan telinga.
Tetes air semakin deras jatuh
dari kedua mata , lalu bertemu di bawah dagu yang kemudian bermuara dan di
serap kasur busa tempat gadis itu kini terbaring lemah.
Isak yang berduet dengan rintik
hujan depan jendela menjelma jadi lagu dukacita penutup sebuah kisah.
Tangerang mengirim kutuk pada
Bandung yang sekali lagi membuat gadisnya terluka.
Masih dalam sedu yang sama, amigdala
berulah. Diungkit nya segala suka dan duka yang berujung pada sore nestapa , 21
Oktober 2020.
"Kau rumah,
bagaimana pun , kau tempatku pulang. Karena kamu tempat ternyaman" suara
itu terdengar dari seberang telepon genggam milik Hijau.
Tanpa melihat wajah ,
hanya suara. Yang sampai kehati melalui telinganya adalah ucapan tulus
Abu.
Sejak hari itu, Hijau
jadi rumah.
Namun bukan rumah yang
nyaman, hanya gerah , pengap , dan sesak yang dapat Abu rasakan.
Abu sering mengeluh pada
lantai yang sedikit retak , karena hijau tak dibangun pada tanah yang kuat,
hanya tanah merah bekas kuburan masa lalunya.
Abu bilang dindingnya
rapuh, hingga tak nyaman saat bersandar. Namun , itu dinding terkuat yang bisa
Hijau berikan.
Abu terganggu pada tetesan
air yang sering jatuh tak beralasan , namun itulah cara Hijau berisyarat
"Tambal lah atapnya"
Abu kesal pada pintu dan
jendela Usang yang setiap malam menghantarkan dingin yang mengganggu tidurnya,
Namun Itulah cara Hijau bilang "Temani aku, Aku ketakutan"
Ketidaknyamanan Abu
semakin membuat Hijau ketakutan, saat rumah baru yang lebih Indah dibangun di
seberang sana.
Hijau sadar sekalipun
memperindah bentuknya, tak akan membuat nya menang mengalahkan rumah baru yang
lebih mewah.
Timbul siasat untuk
mengurung Abu agar tak keluar sana.
Hijau mengunci setiap
jalan yang menghubungkan Abu dengan dunia luar. Abu marah dan menyerah.
Ketidakberdayaan nya
membuat Hijau merasa bersalah, di bangunkan nya Abu ditengah kepayahan. Ia
membuka pintu dan melepas Abu sepenuhnya. Hijau mulai berpuisi pada
burung-burung liar yang datang dan pergi.
"Aku rumah, yang
harusnya menenangkan, bukan mengacaukan.
Aku rumah yang harusnya
mendekap, bukan membekap.
Aku rumah yang harusnya
menyegarkan, bukan menyengsarakan.
Aku tetap rumah yang
melepas Tuan pergi ke alam. Jika Tuan Tak nyaman , apalah aku jika tidak
membebaskan.
Aku terlalu bangga
menjadi rumah tuk Tuan. Tak pernah berfikir bahwa para Tuan butuh rumah segar
menenangkan"
Komentar
Posting Komentar
Gimana tanggapan kamu?