Lari
Kemarin Ibu menuntunku berjalan, mengenalkanku nama setiap benda yang kami lalui. Lalu pada langkah ke sekian, aku telah bisa berjalan. Walau gontai, aku sangat bergembira.
Ibu berkata "Berjalanlah, Hati-hati disana banyak duri, Ibu mengawasi dari jauh"
Dunia begitu indah saat Aku baru mengenalnya, lalu ku putuskan untuk berlari. Ibu memanggilku keras, makin lama makin jauh, suaranya hilang.
Kemudian, kala bayangan ibu raib dari horison perbukitan, jalan yang ku tapaki mengarah pada sebuah hutan. Setitik cahaya terlihat dari balik pepohonan yang menjulang.
Di hutan itu ku dapati tumbuhan yang tak pernah ibu kenalkan, ada banyak serangga yang berbeda dari apa yang ibu gambarkan. Aku terhanyut kala seorang makhluk baik hati menuntunku masuk ke gubuk kayu di tengah hutan . Gubuk yang pernah lu lihat pada sebuah buku dongeng rahasia milik Ibu.
Makhluk yang tak ku ketahui namanya itu merangkulku lembut. Menyuguhkanku santapan lezat dari madu dan buah-buahan segar.
Terlihat dari kejauhan kawanan rusa yang menatap kami, lalu tak jauh dari sana sekelompok hewan kecil pun mengikuti. Aku tak mengerti apa yang mereka ucapkan namun seolah aku faham bahwa mereka menyuruhku berlari.
Aku menoleh kearah buah segar ditangan kanan dan kiriku kala seekor serangga datang dan hinggap di salah satunya.
"Busuk?"
Buah itu berubah, santapan lezat di hadapanku berubah menjadi tumpukan sampah dan kotoran berbau busuk. Makhluk baik hati tadi mulai memunculkan tanduk. Aku ketakutan lalu lari sekencang mungkin.
Duri-duri yang tertebar sepanjang jalan mulai menembus sepatu yang ibu pakaikan, kakiku luka dengan darah yang kian mengalir.
Entah arah mana yang ku tuju, aku hanya ingin berlari dari makhluk menyeramkan yang masih mengejarku.
Seketika aku teringat pada titik cahaya yang membawaku ke dalam hutan, ia hilang, atau bahkan memang tak ada.
Aku mulai mencapai batas , kakiku yang basah oleh darah tak sanggup lagi menapak, persendianku tak kuat lagi bergerak. Bahkan tenggorokanku tak mampu lagi menangis lebih lama.
Tanpa sadar, aku terjerembab pada lumpur hisap. Pasrah, mungkin aku akan mati, di hutan ini. Pandanganku kabur, semuanya gelap.
Tetesan air hujan mulai terasa, dingin lalu semakin hangat. Dengan energi yang tersisa , ku fokuskan pandangan ke sebuah sudut asal suara yang memanggil namaku. Seseorang di hadapan menarik dan dan terus memanggil namaku.
"Nak? Bangun! Ibu bilang hati-hati,kan?"
Oh tidak! air hujan tak pernah sehangat ini, ini air mata Ibu. Ia membersihkan Aku dan lukaku dari lumpur yang menyelimuti.
Ibu menuntunku, sepanjanjang jalan kami berbincang tentang makhluk-makhluk aneh yang ku temui. Ibu tersenyum, tangannya mengelusku dengan lembut.
Komentar
Posting Komentar
Gimana tanggapan kamu?