Dia Ibuku , Dan Aku Anaknya Yang Tak Berguna
Wanita itu terbaring lemah di kamar rumah sakit, selang infus terpasang di pergelangan tangan kirinya , rasa sakit yang tak tertahan terpancar dari garis wajahnya.
Dan aku hanya bisa diam menatap lemah kearah lantai .
Menatap matanya? Tidak sanggup! Dia ibuku , dan aku anaknya yang tak berdaya.
Hari itu pukul 5 sore, setelah memastikan makanan tersedia untuk adik-adikku, aku bergegas ke stasiun kereta.
Rangkasbitung, stasiun persinggahan sebelum meneruskan berjalan kaki ke Rumah sakit Adjidarmo. Ya, aku tak punya cukup uang untuk menumpang angkutan.
Ba'da magrib, tak lama setelah aku sampai di kamar itu , ibuku mengeluhkan pergelangan tangannya yang sakit dan menggelembung.
Allah maha baik, datanglah dua perawat yang membenarkan selang infus ibu.
Rumah sakit adalah tempat yang ku benci, bau obat, amis darah , orang-orang yang berlarian ke ruang gawat darurat, jarum suntik, dan berita duka cita.
Pukul 7 malam , diluar kamar ramai orang yang menggelar tikar, mereka keluarga pasien. Rumah sakit ini lebih mirip tempat piknik, dengan termos-termos yang berjejer, karpet plastik yang terhampar, dan beberapa pedagang yang hilir mudik keluar masuk rumah sakit.
Wajah ibu masih lemah, dari kerutan di dahinya, aku tahu betul ia tak ingin lebih lama di tempat ini
"Bu, aku juga" kataku dalam hati
Pukul 8 malam , Bapak datang . Kami bergantian menjaga ibu. Aku pulang, besok harus bekerja.
Di rumah yang dingin tanpa kehadiran ibu, air mata kembali menetes setiap kali mengingat masa di mana ibu berkata "Nanti kalau mama sakit, mungkin karena capek ngurus kalian"
Lamunanku pecah saat perutku berbunyi, ya.. sejak pulang kerja sore tadi aku belum makan apapun.
Seketika, runtut kejadian sejak pagi tergambar di otakku.
Aku ini pemalas , namun sejak sakit , ibu menitipkan rumah padaku. Aku harus mengurus rumah dan memasak untuk adik-adikku
Aku takut melewati malam di tempat asing , namun beberapa jam lalu aku melalui jalan menuju stasiun dengan kakiku
Aku benci rumah sakit , namun demi ibu aku harus terbiasa dengannya.
Aku takut darah, jarum suntik, suara tangis orang kesakitan , dan situasi gawat darurat. Ya , aku ini penakut.
Aku tersadar, jam dinding menunjukkan pukul 4 pagi, mataku sembab sebab air dari kedua mata tak henti menetes. Tidur , tak lagi menarik untukku. Sementara pukul 5 aku harus kembali memasak untuk adikku, kemudian memulai hari seperti sebelumnya.
Hari ini sudah 8 tahun berlalu, dan ibu masih terbaring lemah, semakin lemah.
Malam yang harusnya sunyi, selalu retak kemudian pecah oleh tangis yang mencabik hati. Tutup telinga? Tidak sanggup! Dia ibuku , dan aku anaknya yang tak berguna.
Rasa sayang dapat mengalahkan rasa malas , takut , lapar,lemah dan kantuk. Namun tak bisa sedikitpun mengalahkan rasa takut kehilangan . Semakin besar rasa sayang, semakin besar rasa takut kehilangan.
Untuk Mama, cepat sehat kembali.....
Allahumagfirli waliwalidayya warhamhuma kama robayana shogiro
Komentar
Posting Komentar
Gimana tanggapan kamu?